Senin, 26 Maret 2012

Sunrise di Puncak Gunung

Sunrise di Puncak Gunung
 Oleh: Agnes M. Luther

Cahaya mentari pagi membelai lembut pipiku melalui celah-celah jendela kamar. Telepon rumah terus berdering karena tidak ada yang mengangkatnya. “Uh, mana orang-orang?” pikirku. Aku melangkah ke luar untuk mengangkat telepon. “Halo, selamat pagi!” kataku. “Pagi...Wah, tuan putri baru bangun, yah? Mentang-mentang lagi libur. Hahahaha...” kata seorang pria di balik telepon yang suaranya tak asing lagi. Itu Kak Rein. Dia kakak sepupuku yang sangat usil. Tapi aku sangat dekat dengan dia. Kami bercakap-cakap agak lama, sampai akhirnya ia memutuskan pembicaraan karena suatu urusan. Lalu aku menuju kamar mandi.

Siang harinya, seseorang mengetuk pintu rumah. Dengan spontan aku melangkah membuka pintu. Ternyata Mama. Tapi Mama tidak sendiri. Dia bersama dua orang pria. Dan seorang di antaranya adalah orang yang menelponku tadi pagi. “Fasya, lihat siapa yang datang! Mama baru menjemputnya di bandara. Kamu temani kakakmu dulu, ya. Soalnya Mama harus kembali ke kantor.” Jelasnya panjang lebar. Setelah Mama pergi kami masuk ke dalam rumah. “Oh iya, dek, kamu masih ingat Alan, ‘nggak?”

Aku memandangi orang yang berdiri di samping Kak Rein. Ia melihatku dengan wajah yang ramah sambil tersenyum. “Kak Alan! Yah, aku ingat sekarang.” jawabku dengan nada yang agak keras. Kak Alan itu sahabat Kak Rein dari kecil. TK, SD, SMP, SMA, bahkan sekarang saat kuliah mereka selalu bersama-sama. Rumah mereka di Bandung juga berdekatan. Makanya mereka sudah seperti saudara. Aku mengenal Kak Alan sewaktu aku berkunjung ke rumah Kak Rein. Kalau diperhatikan, sifat mereka sangat bertolak belakang. Kak Rein yang super usil, kocak, dan lucu, sementara Kak Alan lebih ramah, tenang, dan pendiam. Heran persahabatan mereka bisa awet.

“Eh, besok kamu ikut, ‘nggak?” tanya Kak Alan kepadaku. “Ikut? Emangnya mau ke mana, Kak?”. “Loh, Rein belum bilang? Besok rencananya kami mau ke gunung yang dekat di daerah ini.” Aku memalingkan pandangan ke Kak Rein. “Jangan, Lan. Dia ‘nggak usah di ajak. Entar bikin repot!” celotehnya. “Udah, Sya. Kamu ikut aja. Kalau Rein ‘nggak mau ngajak kamu biar aku aja. Ikut, ya?” tambah Kak Alan. “Gunung?”

Aku tersenyum mendengar kata itu. Aku teringat gurauan yang kuucapkan ketika berumur sembilan tahun, “Orang yang nanti menjadi cinta sejati aku adalah orang yang mau mengajakku ke gunung dan bisa melihat sunrise alias matahari terbit bersama dia”. “Hey! Kamu ikut atau ‘nggak?” tanya Kak Rein membuatku terkejut. “Iya, aku ikut. Tapi boleh bawa teman, ‘nggak?”. “Boleh, asalkan cantik. Hahaha..!” canda Kak Rein. Kami hanya bisa tertawa melihat tingkahnya yang selalu membuat saraf ketawa berdenyut. Aku masuk ke kamar dan mengambil handphone untuk menghubungi Rhena, sahabatku. Aku mengajaknya untuk ikut bersama kami ke gunung. Untungnya dia tidak menolak dan sangat senang. “Sekarang saatnya tidur. Besok harus bangun cepat buat nyiapin semuanya.” kataku.

Keesokan paginya aku bangun dan menuju kamar yang di tempati Kak Rein dan Kak Alan. Letaknya persis di samping kamarku. Aku mengetuk pintu kamar sampai mereka bangun. Lalu aku melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. “Kamu lagi ngapain? Ada yang bisa dibantu?” tanya seseorang dari belakangku. “Eh, Kak Alan. Aku lagi nyiapin sarapan, Kak. Dan sepertinya aku bisa sendiri.” jawabku. “Oh, kalau gitu Kakak ke kamar mandi dulu,ya!”. Aku mengangguk. Ia pun berlalu dari pandanganku.

“Hmmm, semuanya udah beres, nih! Bekal dan perlengkapan yang diperlukan udah siap. Tinggal nunggu yang lain.” Tak lama Kak Rein dan Kak Alan muncul dengan menenteng ransel yang lumayan besar. “Sya, tendanya udah siap, belum?” tanya Kak Rein . “Oh, iya. Tunggu, aku ambil dulu, Kak!”. Aku berlari ke belakang untuk mengambil tanda. “Ini, Kak.” kataku sambil menyodorkan tenda. “Kita berangkat sekarang?” tanya Kak Alan. “Sebentar, Kak. Aku masih nungguin Rhena”. Tiba-tiba Rhena muncul dari balik pintu dengan tergesa-gesa. “Aduh! Maaf, ya. Tadi macet.” jelasnya. “Sekarang semuanya udah siap. Kita berangkat, yuk!” kata Kak Rein. Setelah berpamitan dengan Mama kami bergegas ke mobil. “Biar Kakak yang nyetir. Tapi Rhena, kamu duduk di depan, ya?” goda Kak Rein.

Kami pun mengikuti pintanya. Mobil mulai berjalan meninggalkan rumah. Pemandangan saat memasuki kaki gunung sangat indah dengan sawah yang bertumpuk dan udara yang segar. Kak Rein memarkirkan mobil di halaman rumah warga setempat setelah kami meminta izin. Itu karena kendaraan tidak bisa memasuki lereng gunung. Kami mulai berjalan melewati jalan setapak. Kak Rein selalu sibuk menggoda Rhena. Sementara aku dan Kak Alan lebih menikmati keadaan sekitar. Tak jarang pembicaraan singkat muncul di antara kami.

“Eh, di sana ada kupu-kupu yang cantik, Kak!” seruku. Aku berlari ke arah kupu-kupu yang berwarna biru itu. “Hati-hati!” teriak Kak Alan. Namun, karena terlalu tergesa-gesa kakiku terantuk oleh sebuah batu dan aku terjatuh ke sebuah lubang yang dangkal. Lututku cidera terkena batu yang ada dalam lubang itu. Seketika aku sulit berdiri. Kak Alan segera mengangkatku dan memapahku. Kak Rein dan Rhena hanya melihat peristiwa itu. Kak Alan mendudukkanku di bawah pohon dan membalut lututku yang terus mungucurkan darah dengan perban yang ada di ranselnya. Aku merasa lebih baik. Tapi kakiku masih terasa sakit untuk berjalan. Melihat kondisiku Kak Alan memutuskan untuk membantuku berjalan. Kami pun melanjutkan perjalanan.

Hari semakin sore, tapi kami belum juga tiba di puncak. Cahaya jingga matahari terbenam tampak di selah-selah pohon cemara yang menjulang. Kondisiku yang seperti ini memperlambat perjalanan kami karena harus berhenti untuk mengistirahatkan kakiku. “Eh, puncaknya udah kelihatan, tuh!” seru Kak Rein seraya menunjuk. Kami mempercepat langkah dan akhirnya mendapati tempat yang cocok untuk mendirikan tenda, tepat di puncak gunung. Kak Alan mendudukkanku lagi dan membantu Kak Rein mendirikan tenda. Ada dua tenda yang didirikan. Satu untuk Kak Rein dan Kak Alan, dan yang satunya untuk aku dan Rhena.

Hari sudah malam. Kak Rein mengeluh kelaparan. Tak ada waktu lagi untuk mencari kayu bakar dan memasak makanan. Aku mengeluarkan beberapa kotak yang berisi makanan. Aku memang sengaja membawa makanan itu buat berjaga-jaga. Kak Rein langsung menyantapnya seperti orang yang belum makan selama seminggu saja. Kami hanya bisa tertawa melihat tingkahnya. “Akhirnya kenyang juga. Lan, kita tidur, yuk!” kata Kak Rein. Aku dan Rhena sudah dari tadi masuk ke tenda kami.

Suasana menjadi hening dan tenang. Yang terdengar hanya suara binatang malam yang seolah-olah tengah bercakap-cakap. Aku tak bisa tidur. Kakiku terasa sangat sakit. Aku memutuskan untuk ke luar tenda dan duduk menikmati angin malam yang menghembus. Tiba-tiba terdengar suara lembut menyapaku. “Kamu ngapain? Kok belum tidur?” tanya Kak Alan. “Kakiku masih sakit, Kak. Makanya ‘nggak bisa tidur.” jawabku. Ia berjalan menghampiriku dan duduk di sampingku. Entah mengapa jantungku berdebar lebih cepat. “Ah, mungkin karena rasa sakit di kakiku saja.” pikirku dalam hati.

“Eh, ngomomg-ngomong terima kasih ya, Kak. Tadi udah bantuin. Maaf juga udah nyusahin Kakak”.

“Iya, ‘nggak usah dipikirin. Tapi, lain kali harus hati-hati, ya!” katanya dengan senyum khas yang menghiasi wajahnya yang tampan itu.

Malam itu kami hanya berbincang-bincang. Saling bertukar pengalaman. Tak jarang juga diselingi tawa kecil. Ada perasaan yang aneh kalau sedang dekat dengannya. Aku tidak tahu apa itu. Yang jelas rasanya nyaman sekali. “Ssssttt..sssttt!” Ia menghentikan pembicaraan. “Coba deh, kamu lirik ke sana.” katanya membuatku heran. Saat aku menoleh aku merasa terkejut dan takjub. Di arah timur tampak cahaya kuning keemasan yang menembus titik-titik kabut dan menyilaukan mata. Ya, sunrise. Aku sangat kagum melihat peristiwa itu. Apalagi diiringi kicauan burung yang seakan gembira menyambut sang raja. Aku memandangi wajah Kak Alan yang turut larut dalam suasana itu. Apa ini orang yang selama ini aku harapkan? Orang yang duduk berdampingan denganku menatap matahari terbit.

Ia memalingkan pandangannya ke arahku, membuat aku tersadar dari lamunanku itu. “Aku sayang sama kamu, Fasya...” katanya yang sontak membuat jantungku seakan berhenti. Wajahku menjadi pucat. Sakit yang ada di kakiku tak terasa lagi. Mengalir bersama keringat dingin yang memenuhi sekujur tubuh. Tak percaya dengan kalimat yang baru aku dengar. “Aku ‘nggak tahu kapan perasaan ini muncul. Yang jelas aku sayang sama kamu udah lama”. Aku masih diam terpaku. Mulutku seakan disumbat oleh sesuatu, sehingga aku tidak mampu membalas kata-katanya.

“Mmm...” gumamku memberanikan diri. “Aku juga merasakan hal yang sama, Kak. Rasanya ada hal yang aneh kalau berhadapan dengan Kakak. Tapi aku sendiri nggak bisa jelasin apa yang aku rasain itu”. Aku menghela nafas setelah mengungkapkan semuanya. Wajahnya semakin berseri-seri setelah mendengar perkataanku. Ia memalingkan lagi pandangannya ke arah matahari yang semakin lama semakin terang. Harapan akan cinta di masa kecil, kini dapat kuraih. Aku menggenggamnya dengan erat. Tak akan pernah kulepaskan. Walaupun senja nanti matahari terbenam, namun matahariku ini tak akan kubiarkan terbenam di ufuk barat, sampai kapan pun.

“Wah, udah pagi! Cerah banget nih!” kata Kak Rein keluar dari tenda. Rhena juga terbangun. “Eh, kalian udah bangun duluan, ya? Wah..wah...kok ‘nggak bangunin kakak sih, Sya?” tanya Kak Rein ke arah kami. Aku dan Kak Alan hanya saling memandangi dan melempar senyum. Rasanya hal yang kami alami itu hanya cukup untuk kami berdua. Kak Rein dan Rhena memperhatikan kami dengan tanda tanya besar di atas kepala mereka.
__***__

0 komentar:

Posting Komentar